- / / : 081284826829

Merayakan Hari Ulang Tahun?

Merayakan Hari Ulang Tahun?
Oleh: ARDA DINATA
http://ardaiq.blogspot.com

Kini, semakin banyak (putra-putri) kita yang merayakan hari kelahirannya dengan kesan hura-hura. Jauh dari kemaslahatan secara maknawi dari episode hidupnya itu. Untuk membuktikannya, kita tak akan sulit. Coba, kita lihat pada komunitas anak-anak remaja –SMP dan SMU— di sekeliling kita. Ketika ada temannya yang kebetulan ulang tahun (ultah), kita bisa melihat aksi kawan-kawannya yang lain, ada yang melempari bagian tubuhnya dengan air (kotor/bersih), telur ayam mentah, terigu, dll.


PADA pihak lain, ada juga yang merayakan ultah ini dengan makan-makan, bernyanyi-nyanyi, joget bareng dan semacamnya. Yang kadangkala, komunitas perayaan ini tanpa memandang muhrim atau bukan. Semuanya kumpul jadi satu. Dan tragisnya, ada juga yang merayakannya dengan pesta minuman-minuman keras dan obat-obatan terlarang. Naudzubillah min dzalik.

Di samping perilaku ultah individu tersebut, pada komunitas yang lebih besar, juga kita sering melihat adanya perayaan-perayaan berkait dengan ultah komunitas orang, seperti sebuah organisasi, badan, lembaga, atau sejenisnya. Perilaku demikian pun, kita sering melihatnya dalam kehidupan bermasyarakat di daerah masing-masing.

Itulah, sepenggal potret perilaku menyambut ultah di masyarakat kita? Ultah. Inilah, wujud rasa syukur kita? Haruskah ultah dirayakan oleh kita? Atau episode hidup ini –ultah- direspon dengan perenungan, kontemplasi, atau muhasabah?


Dalam tataran ini, ada yang menggelitik rasa ingin tahu kita selaku umat Muslim, seperti juga yang pernah dipertanyakan Mustafid Amna dalam sebuah tulisannya, yaitu apakah ada tuntutan dari “sono”-nya agar merayakan ultah?

Nyatanya, beliau menyebutkan, tidak pernah ada contoh, terlebih perintah formal peringatan ulang tahun. Karena itulah barangkali, tak pernah tercatat Al-Khulafa Ar Rasyidin mengadakan peringatan ulang tahun, apa pun bentuknya. Karena tidak ada contoh dari Rasulullah saw, beberapa kalangan menganggap hal itu sebagai bid’ah. Kalangaan lain menganggap, peringatan ultah boleh-boleh saja hukumnya. Alasanya, sekalipun tidak ada perintah formal, larangan tegas pun tidak ada.

Lebih jauh, Mustafid Amna, mengungkapkan bukan hanya itu. Allah menyampaikan ucapan selamat atas lahirnya Nabi Yahya (QS. Maryam: 15) dan Nabiyullah Isa Alaihimasalam (QS. Maryam: 33). Hal itu oleh sebagian orang ditangkap sebagai isyarat bagusnya memperingati hari-hari penting. Bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan, Takhallaqu bi’akhlaqillah –teladanilah akhlak Allah--. Dari sini, boleh jadi kemudian timbullah peringatan Maulid Nabi, Isra Miraj, Nuzulul Quran dan munculnya budaya Hari Ulang Tahun sampai saat ini.

Maulid Nabi

Pada bulan Rabi’ul Awwal, sudah menjadi adat kebiasaan dalam dunia Islam mengadakan peringatan Maulid Nabi saw. Walaupun Maulid Nabi bukan suatu Hari Raya menurut ajaran Islam, sebab Hari Raya yang disyariatkan hanya dua, yaitu Iedul-Fitri dan Iedul-Adha. Walau demikian, tidak ada salahnya kalau momentum itu dipergunakan untuk menumbuhkan kecintaan ummat kepada Nabi Muhammad saw, dengan tujuan untuk mengikuti jejak dan langkah beliau dalam segala bidang kehidupan.

Di sini, kita hendaknya tidak boleh mengungkapkan cinta secara berlebihan, maka akibatnya justru merusak dan tidak baik. Apalagi sampai menempatkan Nabi saw seperti Tuhan, Naudzubillah min dzalik. Perhatikan bait-bait syair yang biasa dibaca dalam acara maulidan itu: Ya akramal khalqi, man lii aludzu bihi. Siwaaka inda hululil haaditsil amami. Fainna min juudika dunya wa dhorrotiha. Wa min ulumika ilmul lauhi wal qalam. Artinya: Wahai makhluk yang paling mulia, siapa lagi yang akan gantungkan perlindungan kepadanya. Selain kepadamu ketika terjadi peristiwa besar. Sungguh kedermawananmu itu dunia dan akhirat. Dan ilmumu mencakup ilmu lauhul mahfudh dan pena.

Pujian di atas, jelas menempatkan Nabi saw seperti Tuhan yang memiliki segala yang ghaib. Padahal Nabi saw adalah seorang manusia yang mendapatkan kehormatan sebagai Rasulullah dan tidak tahu yang ghaib kecuali diberitahu oleh Allah SWT (QS: Al-An'aam: 50 dan An-Naml: 65).

Untuk itu, hal yang demikian sudah selayaknya kita perbaiki. Sehingga adat kebiasaan Maulid Nabi ini, perlu dijaga jangan sampai dianggap hal itu masuk dalam rangkaian ubudiyah (ibadah), tapi hanyalah semata-mata satu kebiasaan yang bisa mendatangkan manfaat. Yaitu mengetahui dan mengambil tauladan dari riwayat kehidupan dan perjuangan Rasulullah, dilihat dari berbagai aspek dan sudut. Bukankah Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 21, “Dan sesungguhnya Rasulullah itu menjadi ikutan (teladan) yang baik untuk kamu dan untuk orang-orang yang mengharapkan menemui Tuhan dan hari-kemudian, dan yang mengingat Allah sebanyak-banyaknya.”

Lebih dari itu, bulan Rabi’ul-Awwal bukan saja hari kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi pada bulan itu jugalah beliau wafat, setelah menyiapkan dan mewariskan kepada ummatnya dua buah pegangan yang akan menjamin mereka tidak akan tersesat untuk selama-lamanya, yaitu Kitabullah (Alquran) dan Sunah Nabi (Hadist). Selain itu, ketika Rasulullah masih hidup, pada bulan Rabi’ul-Awwal pun terjadi peristiwa Hijrah. Di mana beliau dan para pengikutnya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka untuk kepentingan menyelamatkan cita-cita perjuangan.

Secara demikian, kita hendaknya menempatkan kewajiban mencintai Rasulullah saw seperti yang telah Allah SWT gariskan dalam Alquran Surat At-Taubah: 24 dan Al-Ahzab: 6. Dan bukankah, cinta kepada Nabi Muhammad saw sendiri merupakan prasyarat cinta kepada Allah SWT? (baca: QS. Ali-Imran:31).

Berikut ini, beberapa petunjuk bagaimana kita mencintai Rasulullah saw. (1) Mentaati Rasulullah saw dan mengikuti ajarannya (QS. Ali-Imran: 31). (2) Mengagungkan dan menghormati Rasulullah saw baik dengan hati, lisan, dan fisik kita sesuai dengan petunjuk beliau dan contoh yang diberikan oleh para sahabat (QS. Al-A'raaf: 157, Al-Fath: 9).
(3) Banyak menyebutnya, berharap untuk bisa melihatnya dalam mimpi, dan rindu bertemu dengan beliau di surga nanti (QS. Al-Ahzab: 56). "Barangsiapa bersalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersalawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali lipat." Demikian sabda beliau. (4) Mencintai keluarga, kerabat, isteri, dan sahabatnya (QS. At-Taubah: 100, Al-Fath: 10, dan Al-Hasyr: 8-10).

Jadi, pada hakekatnya, bulan Rabi’ul-Awwal itu mengandung nilai-nilai yang jauh lebih luas dari hari kelahiran Rasulullah saw saja. Dan yang jelas, Maulid Nabi itu merupakan momentum yang baik untuk menggali mutiara-mutiara terpendam dari kehidupan dan perjuangan Rasulullah yang mestinya diterapkan dalam kehidupan kaum Muslimin sehari-haari. Rasulullah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh dengan sunahku dan sunah khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku, berpeganglah dengan sunah itu dan gigitlah dengan gigi gerahammu sekuat-kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru (dalam agama), karena setiap hal yang baru dalam agama itu tergolong bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan At-Turmudzi).

Hakikat Hari Ulang Tahun

Pada hakikatnya, ketika seseorang bicara hari ulang tahun, maka sesungguhnya diantara mereka itu sedang berkomunikasi tentang dimensi waktu yang menyelimutinya. Yaitu waktu masa lampau, waktu masa kini dan waktu yang akan datang.

Allah SWT mendefinisikan waktu dalam QS. Al-Mulk: 2, “Dia-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan, ….” Dalam arti lain, waktu itu sesungguhnya hidup itu sendiri. Yusuf Qordlowi mengatakan, Al-waktu huwal hayata, waktu adalah hidup itu sendiri.

Secara demikian, setiap kita hendaknya dapat menjadikan pelajaran dari apa yang terjadi pada masa lampau. Lalu, masa kini dilakukan untuk merenung, menatap dengan tujuan beri’tibar, ibroh, guna diproyeksikan ke waktu mendatang (baca: bertindak aktif dan cermat).

Tanpa bertindak cermat, sesungguhnya kita telah mengalami kerugian. Kemudian Allah membuat pengecualian, yaitu empat hal yang menyebabkan seseorang terbebas dari kerugian. Dialah orang-orang beriman, beramal saleh, saling berwasiat dalam kebenaran, dan saling berwasiat dalam kesabaran (baca: QS. 103: 1-3).

Pada konteks ini, kita harus sadar betul bahwa masa lampau sudah lewat. Siapa pun kita (orang hebat, kuat, berkuasa), jelas tidak mampu menghadirkan masa lampaunya pada saat ini. Ia hanyalah masa kenangan (itu pun bagi yang memilikinya). Sebaliknya, masa datang merupakan sebuah cita-cita atas keinginan kita.

Dalam menyikapi ulang tahun ini, yang lebih penting adalah bagaimana kita dapat melakukan yang terbaik dalam hidup ini dengan mulai memperbaiki diri dari saat ini juga yang sesuai petunjuk Allah dan tuntunan Rasulullah saw. Akhirnya, momentum hari ulang tahun, kita jadikan sebagai bahan evaluasi agar hidup kita lebih baik dan berkualitas di hadapan-Nya. Bukankah, kita pada hari esok belum tentu dapat melakukannya? Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM