- / / : 081284826829

Indahnya Hidup dengan Bening Hati

Indahnya Hidup dengan Bening Hati

Oleh: Arda Dinata
Email: arda.dinata@gmail.com


Betapa indahnya, hidup dengan bening hati. Bening hati berarti jernih hatinya (mudah mengerti, dsb) akan sesuatu kebenaran menurut pandangan Allah yang diperlihatkan kepada manusia. Suasana kehidupan dengan bening hati akan selalu mengkonsulkan segala aktivitas hidupnya dengan indera perasaan (kebenaran) dan suara hati nuraninya.

Berikut ini, beberapa ladang amal yang bisa kita tanam dan bangun dalam mewujudkan indahnya hidup yang diselimuti dengan kebeningan hati.


1. Indahnya Berkeluarga dengan Bening Hati

Berkeluarga merupakan sistem kemanusiaan yang urgenitasnya ditekankan oleh Islam. Keluarga adalah elemen dasar dalam komunitas masyarakat. Syariat Islam yang toleran telah memberikan perhatian yang besar terhadap institusi keluarga, sehingga ia menduduki posisi yang layak yang membuat ia menjadi pijakan kokoh bagi setiap muslim untuk mewujudkan kemuliaan, kehormatan, dan amal saleh yang bermanfaat.

Dalam keluarga perlu dibangun suatu sistem pembelajaran yang dilandasi kebeningan hati. Kondisi bening hati dalam keluarga dapat melejitkan potensi terciptanya keluarga sakinah. Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah Swt menghendaki suatu rumah tangga yang baik (bahagia), diberikan-Nya kecenderungan menghayati ilmu-ilmu agama; yang muda menghormati yang tua; harmoni dalam kehidupan; hemat dan hidup sederhana; melihat (menyadari) cacat-cacat mereka dan kemudian melakukan taubat. Jika Allah Swt menghendaki sebaliknya, maka ditinggalkan-Nya mereka dalam kesesatan.” (HR. Dailami dan Anas).

Hadits di atas menunjukkan bahwa untuk mendapat kecenderungan tersebut, maka modal yang perlu dibangun tidak lain setiap anggota keluarga harus selalu menjaga kebeningan hati. Dan orang-orang yang menjaga kekuatan kebeningan hati, Allah menjanjikannya dengan memasukkan mereka ke dalam surga (baca: QS. Al Mujaadilah: 22).

Kiranya, salah satu teladan yang bisa kita contoh dalam membangun kebeningan hati dalam keluarga, selain keluarga Rasulullah Saw, adalah keluarga Khalifah Ali bin Abu Thalib. Ali ra adalah suami dari Fatimah putri Rasulullah. Beliau sejak kecil hidup bersama Rasulullah, karena Rasulullah pernah diasuh oleh ayah Ali. Setelah Rasulullah menikah dengan Siti Khodijah, Ali ikut bersama Rasulullah dan dibesarkan, diasuh serta dididik sehingga tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik, dan pemberani.

Keberanian dan kebeningan hati Ali ini tercermin pada ikut sertanya dalam hampir seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah. Ali senantiasa berada di barisan muka. Seringkali kaum muslimin memperoleh kemenangan karena keberaniannya dan ketangkasannya,. Ali dikenal dengan Dzulfaqar karena pedangnya yang bermata dua. Namun demikian, Ali sehari-hari dalam keluarga, perilakunya selalu lemah lembut –sebagai pancaran kebeningan hati--.

Budi pekerti Islam, kesalehan, keadilan, toleransi dan kebersihan jiwa Ali sangat terkenal. Ia termasuk salah seorang dari tiga tokoh (Abu Bakar As Shiddiq, Umar bin Khatab, Ali bin Abu Thalib) yang di dalam dirinya tercermin kepribadian Rasulullah. Mereka bertiga laksana mutiara yang memancarkan cahayanya.

Berkait dengan kebeningan hati ini, Ali ra berkata, “Sesungguhnya Allah ta’ala di bumi-Nya mempunyai sebuah wadah, yaitu hati. Maka yang paling dicintai Allah ialah hati yang paling lembut, paling jernih, dan paling keras.” Kemudian beliau menafsirkannya. “Maksudnya ialah yang paling keras dalam agama, paling jernih dalam keyakinan, serta paling lembut terhadap saudara-saudaranya.”

Bukti kebeningan hati Ali ra, tercermin juga pada kejadian berikut ini. Pada suatu hari Khalifah Ali bin Abu Thalib menegur Ashim bin Ziyad yang mengenakan pakaian terbuat dari bahan sangat kasar (aba’ah) dan meninggalkan sama sekali kenikmatan hidup di dunia. Beliau berkata: “Hai ‘musuh kecil’ dirinya sendiri! Sesungguhnya engkau telah disesatkan oleh setan. Tidaklah engkau mengasihani si istri dan anak-anakmu? Apakah menurut perkiranmu, Allah Swt telah menghalalkan bagimu segala yang baik, lalu Ia tidak menyukai engkau menikmatinya …? Sungguh, dirimu terlalu kecil untuk dituntut melakukan seperti itu oleh-Nya!”

“Tetapi, wahai Amirul Mukminin,” ujar Ashim, “Anda sendiri memberi contoh dengan mengenakan pakaian amat kasar dan memakan makanan yang kering!”

“Ketahuilah,” jawab Ali, “Dirimu tidak seperti diriku, sebab Allah telah mewajibkan atas para pemimpin yang benar agar mengukur dirinya dengan keadaan rakyat yang lemah, sehingga orang miskin tidak sampai tersengat oleh kepedihan kemiskinannya.”

Nasehat Ali itu menunjukkan bahwa tidak masalah bagi rakyat biasa menikmati suatu karunia-Nya –sepanjang menikmatinya benar dan tidak melupakan kepada fakir miskin--.

Sebaliknya, Ali mengecam orang yang memilih hidup amat miskin hingga menelantarkan keluarga, padahal ia mampu untuk hidup lebih baik. Sedangkan, pemimpin yang baik, harus mengukur dirinya dengan keadaan rakyat yang lemah. Dampaknya, orang miskin tidak terlalu pedih atau putus asa dan adanya kesederhanaan pemimpin akan memberikan teladan bagi si kaya dalam membelanjakan hartanya.

Sungguh indah, suatu keluarga yang hidupnya dibangun dengan kebeningan hati. Maka, panjatkanlah selalu doa: “…. Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Furqaan: 74).

2. Indahnya Bertetangga dengan Bening Hati

Tetangga ialah orang yang tinggal berdekatan atau bersebelahan dengan kita. Tetangga merupakan orang pertama dan yang terdekat dengan kita dalam segala keadaan dan situasi, yang dapat memberikan pertolongan ketika kita membutuhkan bantuan, dan yang bisa menghibur di waktu kita ditimpa musibah.

Karenanya, kebeningan hati dalam hidup bertetangga menjadi syarat utama. Firman Allah, “… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An Nisaa’: 36).

Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa yang perlu diutamakan dalam kehidupan ini adalah berusaha menciptakan hubungan yang harmonis antara sesama tetangga. Kunci keharmonisan dalam hubungan dengan orang lain (baca: bertetangga) adalah beningnya hati. Dalam sebuah hadist disebutkan, “Tidaklah beriman seorang hamba sampai tetangganya merasa aman dari gangguan-gangguannya.”

Adapun status dan hak-hak yang menjadi tetangga itu, menurut Rasulullah, ada tiga macam, yaitu: hak sebagai tetangga; hak sebagai tetangga dan keluarga; hak selaku tetangga, keluarga dan sebagai muslim. Artinya, tetangga yang sama-sama Islam dan kebetulan mempunyai hubungan keluarga, mempunyai tiga hak tadi. Jika hanya sesama muslim saja, mempunyai dua hak–hak sebagai satu akidah dan hak sebagai tetangga--.
Sedangkan yang berlainan agama, dan tidak pula mempunyai hubungan keluarga, maka ia hanya mempunyai satu hak –sebagai tetangga--.

Hak-hak tetangga itu meliputi:

(1) Jika dia meminta tolong, berikan pertolongan.

(2) Kalau dia meminta bantuan, bantulah.

(3) Jika meminjam uang, pinjamilah.

(4) Kalau dia miskin, santunilah.

(5) Kalau sakit, jenguklah.

(6) Apabila ada yang meninggal, turutlah mengantarkan jenazahnya.

(7) Jika memperoleh kebaikan (kebahagiaan), nyatakanlah ucapan selamat (tahniah).

(8) Kalau ditimpa musibah, tunjukkan perasaan turut berduka cita (ta’ziah).

(9) Janganlah membangun rumah lebih tinggi daripada rumahnya, yang menghambat angin masuk ke dalamnya, kecuali dengan izinnya.

(10) Janganlah menyakiti hatinya.

(11) Apabila kita membeli buah-buahan, berikanlah (sedikit) kepada tetangga; kalau tidak mungkin dibagi, bawalah masuk ke rumah engkau secara sembunyi; jangan sampai anaknya melihat anak engkau sedang makan buah-buahan itu.

(12) jangan sakiti hati tetangga dengan bau masakan (yang menyengat hidung), kalau tidak mungkin membagi sedikit untuknya.

Untuk mencapai indahnya bertetangga dengan bening hati, kita harus selalu berusaha memenuhi hak-hak tetangga dengan rasa kasih sayang. Nabi Saw memperingatkan: “Siapa yang tidak berkasih sayang, ia tidak akan dikasih sayangi.” (HR. Bukhori).

3. Indahnya Bermu’amalah dengan Bening Hati

Mu’amalah berarti ilmu bermasyarakat. Kegiatan bermu’amalah diantaranya berjual beli, berhutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. Sedangkan mengenai kesaksian dalam mu’amalah ini, Allah menginformasikan pada QS. Al Baqarah: 282 – 283. Di sana diterangkan cinta kasih macam apa yang diperintahkan oleh Islam. Orang miskin janganlah dituntut dan dimasukkan dalam penjara. Pembayaran utang harus ditangguhkan sampai ia mampu membayar kembali, atau lebih baik, seluruh pinjamannya disedekahkan saja.

Allah Swt juga memberikan petunjuk tata cara menjaga harta dari kehilangan atau kerusakan serta bimbingan untuk selalu berhati-hati dalam mengurus kekayaan. Hanya orang-orang yang diselimuti kebeningan hati, yang dapat memposisikan harta sebagai jalan menuju ridha Allah, dan bukan satu-satunya tujuan mendapatkan dunia.

Untuk mencapai keindahan bermu’amalah dengan bening hati itu, kiranya kita bisa mencontoh Abdurrahman bin ‘Auf. Beliau adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya. Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya.

Begitulah Abdurrahman bin ‘Auf, kekayaannya yang melimpah ruah, sedikit pun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya. Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya, “Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tidak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!”

Di sini, kunci yang menjadikan perniagaannya berhasil dan mendapat berkah Allah adalah karena ia selalu bermodal dan berniaga barang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan subhat. Adapun yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, tidak lain karena labanya bukan semata-mata dinikmati sendiri. Tapi, di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi secara tepat, juga digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan dan membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang dipergunakan dalam perjuangan Islam. Sungguh luar biasa dan indahnya perilaku bermu’amalah seperti ini. Maka, wajar saja Allah menjamin tidak akan bersedih hati pada orang seperti itu (baca: QS. Al Baqarah: 262).

4. Indahnya Berpolitik dengan Bening Hati

Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut Kuntowijoyo (1997), kita tidak usah hirau dengan pernyataan bahwa “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun demikian, tidak berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama. Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).

Di sinilah, kita harus berpolitik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Tepatnya, politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mencapai itu, kita tentu tidak boleh terlepas dari etika Islami. Kita sependapat, untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan. Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih, dengan cara yang bersih pula serta mengandung manfaat yang penuh berkah.

Ada beberapa akhlak yang perlu dibangun untuk mencapai keindahan berpolitik dengan bening hati:

(1) Niatkan secara ikhlas. Islam memandang politik sebagai bagian dari amal saleh, maka usahakanlah niatan berpolitik tidak hanya berdampak pada soal duniawi, tapi lebih dari itu menyangkut soal akhirat.

(2) Tidak berdusta. Berpolitik sangat potensial untuk mengobral janji dan membohongi.

(3) Menampilkan program-programnya dengan cara sebaik-baiknya. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).
(4) Tidak memaksa. Politik adalah jalan dakwah dan bukan jalan menghalalkan cara untuk meraih suara maksimal. Kita tak boleh memaksa orang lain untuk menerima, mendukung, dan memberikan hak pilihnya ke satu partai (baca: identik dengan makna QS. 2: 256).

(5) Tidak mengucapkan janji secara berlebihan dalam rangka menarik massa agar mendukung partainya (baca: QS. 17: 34).

(6) Tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, meskipun masing-masing muslim berbeda partai (baca: QS. 49: 10).

(7) Tidak memuji-muji sendiri atau partainya. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu partai tidak menganggap dirinya paling baik, Islami, dan sejenisnya. Dan pada pihak lain, ia menganggap partai lain tidak ada yang benar.

(8) Tidak jatuh dalam ghibah, caci maki, dan kata-kata kotor.

(9) Memberikan kemaslahatan bagi bangsa, baik material dan atau spritual.

(10) Dalam aktivitas partainya, selalu ingat akan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT.

(11) Memberikan teladan yang baik. Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.”

Dalam hal ini, kiranya patut diteladani sikap politik Hamka –Haji Abdul Malik Karim Amrullah--. Pada pribadinya ada sisi lunak, ada juga sisi kerasnya. Jika sudah menyangkut akidah, Hamka tak kenal kompromi. Ia sangat tegas dan kosisten. Sebagai contoh, misalnya sikap Hamka terhadap perayaan Natal Bersama yang pada tahun 1970-an digalakan pemerintahan Soeharto. Selaku ketua MUI saat itu, Hamka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk mengikuti Natal Bersama, karena merupakan ritual umat Nasrani. Ketika itu Pemerintah mendesak Hamka agar mencabut fatwanya. Tapi, ia menolaknya. Ia memilih mundur dari jabatan ketua MUI daripada harus mengikuti desakan Pemerintah.

Sikap tegas Hamka itu, tidak lain untuk menjaga integritas pribadinya sebagai ulama. Tepatnya, sikap politik Hamka menunjukkan pribadi yang marwah, punya harga diri. Ia tidak gampang tergoda oleh kekuasaan dan fasilitas. Dan inilah, kelihatannya yang hilang dalam sikap berpolitik kita saat ini.

5. Indahnya Memimpin dengan Bening Hati

Sosok pemimpin yang berhak memimpin bangsa ini, bukan orang yang ambisius mengharapkan jabatan. Rasulullah pernah berkata, “Jabatan itu hanyalah bagi orang yang tidak mencita-citakannya dan tidak serakah padanya; bagi orang-orang yang menghindarinya dan tidak bagi orang yang bersusah payah mengejarnya; bagi orang-orang yang ditawari (tanpa mereka minta) dan tidak bagi yang menuntutnya sebagai hak.”

Pemimpin model ini, tentu pribadinya memiliki ketakwaan kepada-Nya dengan bukti nyata; mampu menggalang persatuan berdasarkan prinsip kebaikan dan takwa; sangat membenci kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan (baca: QS. Al Maidah: 2). Dampaknya, ia muncul sebagai teladan umat.

Ada lima hal yang dilakukan oleh seorang pemimpin untuk merefleksikan kebeningan hatinya yaitu berupa:

(1) Keteladanan dalam hal keberanian, kerendahan hati, keteguhan pendirian, ketahanan fisik, dan berpolitik (QS. 9:13; 26: 215; 2:214; 8:60; dan 3:159).

(2) Keteladanan kepada anak buahnya dalam hal ibadah, kedermawanan, kesederhanaan, dan penyantun (QS. 17:79-82; 2:26; 20:131; dan 7:199).

(3) Berpandangan tajam dan berwawasan luas. Sehingga ia akan mengelola amanah degan ilmu yang dimilikinya dan mampu memperkirakan hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana bagi umatnya, serta mampu mengantisipasinya.

(4) Memiliki kesabaran dalam menjalankan amanah yang diembannya, baik ketika melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat (berdakwah), menghadapi musibah, dan mengendalikan hawa nafsunya (QS. 18:28; 2:155-157; dan 21:35).

(5) Memiliki kesabaran dalam ketakwaan, dalam membina hubungan masyarakat dan bernegara; dan dalam kancah ‘peperangan’ dikala berkecamuk (QS. 4:19 dan 8:45).

Perilaku memimpin dengan bening hati seperti itulah yang akan mengantarkannya menjadi pemimpin yang paling baik. Adapun bentuk amaliahnya, seperti sabda Nabi Saw, “Pemimpin kamu yang paling baik ialah yang kamu cintai dan mencintai kamu; yang kamu doakan dan mendoakan kamu. Pemimpin kamu yang paling jelek ialah yang kamu benci dan membenci kamu; yang kamu kutuk dan mengutuk kamu.” (HR. Muslim).

6. Indahnya Menuntut Ilmu dengan Bening Hati

Nabi Saw bersabda, “Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim.” Dalam ajaran Islam pengertian adanya keharusan menuntut ilmu mendapat tempat yang begitu luas dan luhur dalam arti rohani dan jasmani.

Aktivitas menuntut ilmu dengan bening hati, akan memposisikan ilmu menjadi saudara kembar amal. Perpaduan ilmu dan amal inilah, kunci sukses sejak masa Rasul sampai sekarang. Dan tatkala ilmu berpisah dari amal, maka kita bersiap menghadapi bencana.

Imam Malik bin Anas, mengungkapkan bahwa ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa anda mengambilnya, dan tidak ada kebaikan sedikitpun dalam diri seseorang yang menurut pandangan masyarakat ia tidak memiliki sesuatu keahlian apapun. Sementara itu, ilmu adalah cahaya yang tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan hati yang khusyu –bening hati-- dan takwa.

Atas dasar itulah, mungkin kenapa Al-Ghazali mengatakan, “Awal dari ilmu pengetahuan itu adalah diam, lalu mendengarkan, kemudian menyerap, dan seterusnya mengamalkan dan menyebarluaskannya.” Al-Ghazali juga menyarankan ajarkanlah ilmumu kepada orang lain yang tidak mengetahuinya, dan belajarlah apa yang tidak engkau ketahui dari orang yang mengetahuinya. Maka, bila anda lakukan semuanya itu, niscaya anda dapat mengetahui apa yang selama ini tidak anda ketahui dan menyerap apa yang telah anda ketahui itu.

Paling tidak, kisah Imam Syafi’i saat menetap di Baghdad telah memberi kita pelajaran berharga tentang bagaimana salaf mensikapi dan menghormati serta merindukan ilmu.

“Bagaimana semangat anda menuntut ilmu?” Syafi’i ra menjawab, “Saya mendengarkan huruf seakan-akan huruf-huruf itu belum pernah saya temukan selama ini. Karena itu saya kerahkan seluruh anggota tubuh saya untuk menyimaknya.”

“Bagaimana minat anda terhadap ilmu?” Jawab Syafi’i hampir senada, “Minat saya laksana orang mengumpulkan makanan yang berambisi menikmati kelezatannya secara sempurna.”

“Dan bagaimana cara anda mencarinya?” Beliau menjawab, “Saya mencarinya laksana seorang wanita yang kehilangan anak satu-satunya di dunia ini, ia tidak memiliki apapun selain dia.” Jadi, betapa indahnya menuntut ilmu yang dilandasi dengan kebeningan hati.

Akhirnya, haruslah kita bangun kebeningan hati dalam segala lini kehidupan manusia. Karena telah nampak buah dari kebeningan hati itu dalam melejitkan derajat manusia di mata Allah Swt. Bukankah, orang yang mendapat “undangan” Allah masuk surga kelak ialah hamba-Nya yang memiliki jiwa bening?

Allah berseru dalam QS. Al-Fajr: 27-30, yang artinya “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Waallahu’alam.*

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM