- / / : 081284826829

Memaknai Hakekat Kebebasan dalam Islam

Oleh: ARDA DINATA
Email: arda.dinata@gmail.com


Kemerdekaan yang telah “dicapai” bangsa Indonesia adalah rahmat dari Allah SWT. Hasil ini tentu tidak terlepas dari peran umat Islam sebagai kekuatan pembebas pada waktu itu. Dan peran ini harus tidak berhenti sampai di situ, tetapi hal ini hendaknya oleh kita (generasi penerus) terus melakukan perjuangan untuk memelihara serta mengamankan, manakala (saat ini) masih kita jumpai penindasan, ketidakadilan yang menyeruak kembali kepermukaan sejarah. Dalam hal ini, tanpa memperdulikan siapa yang memegang kekuasaan di negeri ini (baca: QS. Ali ‘Imran: 110).

MERDEKA diartikan sebagai bebas (dari perhambaan, penjajahan dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak tergantung pada sesuatu yang lain); lepas (dari tuntutan). Orang menyebut kemerdekaan ini dengan kebebasan.

Kondisi bebas itu dapat dimaknai dengan beberapa pengertian. (1) Bebas berarti lepas sama sekali (tidak teralang, terganggu dsb sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dsb dengan leluasa). (2) Bebas berarti lepas dari (kewajiban, tuntutan, ketakutan dsb). (3) Bebas berarti merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi negara lain). Lantas, timbul pertanyaan bagaimana pandangan Islam terhadap kemerdekaan/kebebasan bagi tiap individu dan bangsa?


Untuk menjawabnya, kita tidak akan terlepas dari arti Islam itu sendiri. Yakni, Islam itu damai. Artinya, apakah ada rasa aman dan damai dalam suatu perbudakan dan penjajahan? Jawabnya, tentu di setiap perbudakan dan penjajahan tidak akan terdapat perdamaian, justru sebaliknya timbul ketakutan dan perkosaan.

Pada tatanan itulah, Islam jelas-jelas anti penjajahan, ketertindasan dan perbudakan. Islam pro kemerdakaan. Ketika seorang anak Adam mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti dia telah memproklamasikan kemerdekaan dirinya. Dia telah melepaskan dirinya dari perbudakan antara sesama makhluk.

Dalam sejarah Islam, kita melihat bahwa ketika kalimat dan seruan kemerdekaan (baca: dua kalimat syahadat) menggema menghampiri ke pelosok-pelosok Mekkah, nabi dan para sahabat di tuduh sebagai pengganggu stabilitas nasionalnya, oleh kaum kuffar. Tawaran baik Nabi Saw. berupa “kemerdekaan sesungguhnya” –jalan lurus-- disambut lemparan batu, kotoran binatang, dan caci maki. Tapi, Rasul Saw. Itu tidak serta merta melancarkan balasan peperangan. Malahan sebaliknya ketika kaum kuffar masih tetap mengakui kemerdekaan versi nenek moyangnya, Nabi Saw. tetap tegar “menyanyikan” lagu kemerdekaan yang sesuai risalah illahi itu secara bijaksana.

Di sini, jelas-jelas orang kuffar itu telah salah memaknai arti sebuah kemerdekaan yang hakiki (karena telah tertutup mata hatinya). Padahal kemerdekaan yang mereka anut tersebut secara nyata adalah semata-mata kemerdekaan yang memiliki keterikatan dengan hawa nafsu yang dibuat oleh mereka sendiri –kebebasan yang dibelenggu oleh Hizbussyaithan--. Lantas, bagaimana hakekat sebuah kemerdekaan/kebebasan di Indonesia dewasa ini?

Bagi bangsa Indonesia, merdeka dalam arti yang hakiki ternyata suatu barang langka. Kondisi suburnya tanah; melimpahnya sumber daya alam; letak geografis yang strategis; potensi sumber daya manusia yang melimpah dengan beragam keahlian, suku bangsa dan bahasa, ternyata belum menjadi jaminan bisa meraih kemerdekaan (kebebasan) itu. Bahkan, bisa jadi bangsa dan rakyat kebanyakan justru merasakan ketertindasan dan keterkukungan oleh bangsanya sendiri.”

Berkait dengan itu, menurut dosen FISIP UI, Eep Saefullah Fatah, sebetulnya yang sudah kita capai itu kemerdekaan formal, negara berdaulat. Kemerdekaan hakiki hanya bisa tercapai apabila semua orang di negara yang berdaulat itu benar-benar merdeka.

Sementara itu, dalam pandangan Sosiolog UI, Dr. Imam Prasodjo, salah satu ciri negara merdeka adalah mampu membangkitkan harapan dan kesempatan yang luas kepada warganya untuk memperbaiki taraf hidup. Di negara-negara maju, selalu saja, ada impian atau harapan yang didengungkan. Lebih jauh, diungkapkan bahwa kesempatan tersebut harus diberikan kepada semua orang. Tidak boleh ada diskriminasi karena perbedaan status sosial seperti pada zaman feodal.

Untuk itu, agar kita dapat menikmati makna kemerdekaan yang sesungguhnya, maka setiap kita harus memposisikan kemerdekaan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam. Yaitu kemerdekaan ini tidak dapat dilakukan secara sekehendak hati setiap individu, kerena hal ini dapat ditumpangi oleh hawa nafsu, sehingga merusak kemerdekaan orang lain dan kemerdekaan itu sendiri.

Lebih jauh dari itu, kemerdekaan sebenarnya merupakan manifestasi keimanan, sehingga kemerdekaan itu mengandung arti tanggung jawab. Seharusnya setiap orang beriman itu akan mempertahankan kemerdekaannya dengan sepenuh kekuatan, baik badan, lisan dan perasaan. Hanya orang yang lemah imannya yang akan mempertahankan kemerdekaannya dengan perasaannya saja (baca: hati).

Oleh sebab itu, bagi mereka yang keras imannya tidak akan mau dan rela melepaskan kemerdekaannya barang sedikit dan sejenak pun. Baginya, kemerdekaan merupakan mahkota kehormatan yang dilimpahkan Tuhan kepadanya. Dan melalui kemerdekaan itulah, seseorang dapat memperbaiki nasibnya, memperoleh derajat tinggi dan memperjuangkan kehormatan yang agung.

Kebebasan dalam Konstitusi Madinah

Berbicara kebebasan, sebenarnya kita membicarakan tentang hak asasi manusia (HAM). Karena, kebebasan itu sendiri merupakan bagian dari HAM. Dalam UUD 1945, kita mengenal ada beberapa hak asasi yang patut didapatkan oleh setiap warga negara Indonesia. Yaitu hak untuk hidup; persamaan kedudukan (pasal 27); kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (pasal 28); kemerdekaan beragama (pasal 29); dan hak mendapat pengajaran (pasal 31).

Sementara itu, dalam konstitusi Madinah tersirat beberapa pasal yang merupakan hak asasi manusia, diantaranya: Pertama, hak untuk hidup. Hal ini manusiawi bahwa setiap orang ingin hidup lama. Konstitusi Madinah dalam pasal 14 disebutkan bahwa, “Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak boleh membantu orang kafir untuk melawan orang mukmin.”

Kedua, hak mencari kebahagiaan. Dalam konstitusi Madinah, telah meletakkan nama Allah SWT pada posisi paling atas. Hal ini memberi makna bahwa kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan ketenangan batin. Artinya harus terpenuhi kebutuhan rohani dan jasmani, bukan hanya kesejahteraan atau kebahagiaan orang seorang/golongan tertentu melainkan kebahagiaan seluruh rakyat.

Ketiga, keadilan. Dalam hubungan dengan keadilan ini ialah adanya ketentuan dalam konstitusi Madinah yaitu pasal 20 dan 43 yang tidak memperkenankan melindungi harta dan jiwa orang Quraisy serta orang-orang yang membantunya. Hal ini dikarenakan orang kafir Quraisy memerangi agama Islam waktu itu.

Keempat, kebebasan, yaitu meliputi: (a) Kebebasan mengeluarkan pendapat. Makna ini tersirat dalam konstitusi Madinah pada pasal 12, yaitu: “Bahwa seorang mukmin tidak boleh mengikat persekutuan atau aliasi dengan keluarga mukmin tanpa persetujuan yang lainnya.” Ini mengisyaratkan kita perlu mengeluarkan pendapat (baca: urun rembuk) melalui musyawarah. Demikian pula halnya yang tersirat dalam pasal 17, yaitu: “Sesungguhnya perdamaian orang-orang mukmin itu satu, tidak dibenarkan seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri tanpa mukmin yang lain dalam keadaan perang di jalan Allah, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka.”

(b) Kebebasan beragama. Ada beberapa pasal yang berkait dengan kebebasan beragama ini, diantaranya: “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka, …” (pasal 25); “Sesungguhnya Yahudi Bani al-Najjar memperoleh perlakuan yang sama seperti yang berlaku bagi Yahudi Bani ‘Auf.” (pasal 26); “Sesungguhnya orang-orang dekat atau teman kepercayaan kaum Yahudi memperoleh perlakuan yang sama seperti mereka.” (pasal 35).

(c) Kebebasan dari kemiskinan. Konsep ini pada hakekatnya sejalan dengan usaha membebaskan diri dari kekurangan, kemelaratan dan kemiskinan. Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan. Di dalam konstitusi Madinah, upaya masalah ini berupa usaha kolektif bukan usaha individual seperti dalam pandangan Barat.

(d) Kebebasan dari perasaan takut. Pasal yang terkait dengan ini di dalam konstitusi Madinah, antara lain: pasal 14 seperti disebut di awal; pasal 40 (Sesungguhnya tetangga itu seperti diri sendiri, tidak boleh dimudarati dan diperlakukan secara jahat); pasal 47 (….Siapa saja yang keluar dari kota Madinah dan atau tetap tinggal didalamnya aman, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa….).

Kebebasan dalam Islam

Kebebasan dalam Islam bukan hanya meliputi kemerdekaan/kebebasan dari perbudakan dan penjajahan, tetapi mencakup arena atau bidang yang sangat luas, yaitu: kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech); kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear); kebebasan dari kemiskinan (freedom from want); dan kebebasan beragama (freedom of religion).

(1) Kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat (freedom of speech).

Setiap manusia oleh Allah diberi lidah untuk berbicara. Oleh karena itu, kebebasan berbicara sangat dijunjung dalam Islam. Lagian, adanya hak untuk “mengeluarkan pendapat” ini akan menunjang terhadap tegaknya keadilan dalam kehidupan manusia.

Dalam sebuah hadist disebutkan, jikalau salah seorang di antara kamu melihat sesuatu kemungkaran (kesalahan) ia harus mengubahnya dengan tangannya, kalau ia tidak sanggup melakukannya, maka dengan lidahnya dan kalau itupun tak sanggup melakukannya maka di dalam hatinya, tetapi inipun bentuk iman yang paling rendah.

Sifat dari kebebasan berbicara ini adalah konstruktif di dalam ruang lingkup untuk menegakkan keadilan dan bukan untuk menimbulkan permusuhan serta perpecahan, melainkan untuk memelihara persaudaraan dan kasih sayang, karena hal ini bersumber dari keimanan.

Jadi, kebebasan berbicara atau melahirkan pendapat dalam pandangan Islam ialah diikat dengan tali iman dan akhlak, sehingga menuntut adanya pertanggung jawaban yang tinggi (baca: terhadap diri sendiri, masyarakat dan Allah SWT).

(2) Kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear).

Setiap manusia menghendaki adanya keamanan dan kedamaian. Artinya, manusia menghendaki adanya kebebasan dari ancaman dan ketakutan. Kondisi kebebasan dari rasa ketakutan tidak akan datang dengan sendirinya melainkan harus diusahakan. Timbul dan lenyapnya kebebasan/kemerdekaan tergantung kepada usaha manusia sendiri. Setiap penjajahan dan perbudakan akan menimbulkan ancaman dan ketakutan. Penjajahan manusia atas manusia atau penjajahan bangsa atas bangsa lain merupakan bentuk kemungakaran dan kelaliman. Perilaku ini dalam Islam adalah dilarang.

Nabi Rasulullah Saw bersabda, “Demi Allah yang nyawaku ditangan-Nya, kamu harus menyuruh orang melakukan yang makruf dan melarang yang mungkar, atau jika tidak begitu Allah akan menimpakan azab atasmu, pada waktu itu kamu akan minta tolong kepada-Nya, tapi Dia tidak akan memperdulikannya.” (HR. Al Tirmidhi --- keterangan Hudhaifah).

(3) Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want).

Tidak ada seorang pun manusia yang menghendaki hidup sengsara dan serba kekurangan. Tetapi, keinginan itu tidak akan menjadi realita tanpa bekerja dan usaha. Usaha merupakan jalan untuk tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Dalam Alquran, Allah SWT menyuruh kepada kita untuk menyantuni orang-orang miskin, fakir dan anak-anak yatim. Bahkan orang yang tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin serta menghardik anak-anak yatim dikategorikan sebagai orang yang mendustakan agama.

Allah berfirman, yang artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustkan agama? Itulah, orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al Maa’un: 1-3).

Dalam makna yang hampir sama, Allah SWT berfirman, yang artinya: “Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang minta-minta janganlah kamu menghardiknya.” (QS. Adh Dhuhaa: 9-10).

(4) Kebebasan beragama (freedom of religion).

Keberadaan setiap nabi adalah untuk memperingati manusia dari kehancuran dan menonjolkan kepada jalan yang benar, serta menyampaikan aturan-aturan tentang hidup bermasyarakat yang bersumber dari Allah SWT.

Kita melihat kalau kebebasan beragama adalah hak yang paling sering ditindas oleh penguasa yang sewenang-wenang, bahkan oleh golongan yang satu terhadap yang lainnya, maka Islam justru sangat memberikan kebebasan penuh dalam soal urusan agama. Allah berfirman, yang artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah….” (QS. Al Baqarah: 256).

Selain itu, masing-masing orang yang beragama memeluk agamanya serta melaksanakan syariat agamanya. Allah berfirman, yang artinya: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kaafiruun: 6). Nabi Muhammad Saw diperingati oleh Allah SWT, bahwa kalau dikehendaki oleh-Nya, semua manusia akan beriman, maka Nabi hendaknya tidak memaksa orang beriman. Allah berfirman yang artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menhendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.” (QS. Yunus: 99).

Akhirnya, selamat hijrah menuju kebebasan/kemerdekaan yang sesungguhnya dan hanya melalui nilai-nilai Islami tersebut, kita dapat menghantarkan bangsa ini dalam memaknai sebuah arti kemerdekaan yang sebenarnya. Wallahu’alam.*** (Bdg,19/7/02).


DAFTAR INSPIRASI

1. Alquranul Karim.

2. Ahmad Sukardja. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: UI Press; 1995.

3. Drs. Sukarna. Kekuasaan, Kediktatoran dan Demokrasi. Bandung: PT. Alumni; 1981.

4. Muhammad Alim. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: UII Press; 2001.

5. Majalah Sabili No. 21 Tahun VI, 5 Mei 1999.

6. Majalah Sabili No. 5 Tahun IX, 29 Agustus 2001.

7. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 1976.


Arda Dinata, adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam (MIQRA) dan dosen di Akademi Kesehatan Lingkungan (AKL) Kutamaya, Bandung.



Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM