REZEKI dan kehidupan manusia adalah sesuatu yang sangat berkaitan. Pasalnya, rezeki ini tidak bisa dilepaskan dari usaha atau pekerjaan yang dapat membawa kebaikan dan manfaat bagi kehidupan seseorang serta bertujuan untuk menghilangkan berbagai kesukaran. Dalam arti luas, rezeki bukanlah sesuatu yang sifatnya material semata-mata. Dan fenomena inilah yang sering dilupakan oleh kebanyakan dari kita.
Pada tataran demikian, kita harus melakukan manajemen yang baik dalam usaha mendapatkan rezeki dari Allah Swt. Karena tanpa manajemen yang baik, jangan-jangan rezeki tersebut dapat menjerumuskan kita dikemudian hari (baca: akhirat). Bukankah, segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah kehidupan itu akan ada perhitungannya pada saat kelak setelah kematian? Dalam hal ini, Imam Ghazali memberi arahan bahwa masalah rezeki merupakan rintangan terbesar bagi manusia ketika hidup di dunia. Karena persoalan rezeki (yang tidak halal) itulah, maka manusia akan datang ke akhirat dalam keadaan amalnya menjadi bangkrut, sedangkan di depan mereka telah nampak adanya hisab dan siksaan jika sekiranya tidak mendapatkan ampunan-Nya.
Atas dasar itulah, kita hendaknya mampu menjemput rezeki bukannya mencari rezeki. Mencari rezeki berarti kita berusaha supaya mendapat nafkah (rezeki). Hal ini tidak tepat, karena bukankah Allah telah menentukan dan menyebarkan rezekinya terhadap setiap makhluk ciptaan-Nya? Di sinilah, perlunya kita menjemput rezeki. Yakni pergi menyambut (menyongsong) kedatangan rezeki atau memungut dengan “ujung-ujung jari” terhadap setiap rezeki yang telah Allah sebarkan di dunia ini.
Berikut ini, ada beberapa lahan usaha yang bisa dijadikan aset manusia dalam menjemput rezeki yang telah ditebarkan-Nya, tentu dalam batas koridor misteri rezeki dan fenomena ikhtiar manusia itu sendiri.
1. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai.
Pegawai (Employee) adalah orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan dsb.). Bekerja berarti mengerahkan tenaga fisik atau fikiran yang dilakukan untuk memperoleh imbalan berupa uang. Ini mencakup seluruh bentuk pekerjaan, baik yang dilakukan dengan tangan atau dengan kepandaian (Afzalurrahman; 1982).
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjadi pegawai itu dapat menjemput rezeki dengan mempunyai pekerjaan dan bekerja untuk orang lain atau sebuah perusahaan.
Bagi mereka yang tergolong pegawai ini, memiliki karakteristik yang khas. Yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kata “aman” merupakan frasa yang sering digunakan oleh mereka sebagai reaksi terhadap emosi takut akan ketidakpastian.
Ketidakpastian tak membuat kelompok ini merasa bahagia; kepastianlah yang membuat mereka bahagia. Para pegawai ingin rasa takut mereka dipuaskan dengan beberapa derajat kepastian, itulah sebabnya kebanyakan mereka mencari keamanan dan perjanjian yang mengikat dalam hal pekerjaan.
Pada konteks sebagai pekerja, yang penting diperhatikan sesuai dengan syariat Islam adalah tanggung jawabnya. Yakni sebagai pegawai adalah wajib melaksanakan pekerjaan dengan sebaik mungkin untuk menjemput rezeki dari Allah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Alquran surat Al-Maidah ayat 1, “…. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ….”
Menjadi pegawai merupakan salah satu faktor penting dalam produksi. Misalnya, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak dapat dimanfaatkan, kecuali bila digali dan diproduksi menjadi sesuatu yang lebih berguna dan produktif oleh tenaga kerja. Alquran menyatakan, “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali apa yang telah diusahakannya.” (QS. 53: 39).
Rasulullah sendiri dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya tenaga kerja dan selalu menghargai karya para pekerja. Lebih-lebih bekerjanya itu dilandasi dengan jujur, demi mendapatkan pahala dari Allah.
Pendeknya, melalui bekerja telah memperlihatkan pada dunia bahwa kita hidup, kita ada, dan hidup kita menjadi lebih bermakna. Rasulullah telah mengingatkan bahwa seseorang laki-laki yang keluar dari rumahnya sambil membawa seutas tali, kemudian ia pulang dengan membawa seikat kayu bakar untuk dijual dan dibelikan makanan untuk anak dan istrinya, jauh lebih mulia bila dibandingkan dengan orang yang meminta-minta. Pasalnya, sekali seseorang meminta-minta kepada sesama manusia, berarti ia telah mengambil sekerat daging dari mukanya. Konsekuensinya, semakin sering ia meminta, maka semakin banyak daging yang ia ambil dari mukanya. Sehingga, nanti pada hari kiamat ada sekelompok orang yang datang tanpa sekerat pun daging di mukanya karena ketika hidup di dunia ia telah banyak meminta.
Rasulullah selalu menekankan untuk bekerja dan tidak pernah menyukai orang yang selalu bergantung pada sedekah. Lagian, bukankah kehidupan yang mudah dan menyenangkan dijanjikan pada mereka yang bekerja dan tidak membuang-buang waktu ---bermalas-malasan---(QS. 101: 6-7). Dalam bahasa Imam Sirkhasi dikatakan, “Mencari nafkah untuk hidup adalah kewajiban setiap Muslim.”
Lebih dari itu, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa perintah untuk bekerja keras itu, agar kita berinfak, dan dengan demikian kita akan menerima pahala amal saleh. Tepatnya, bekerja menjadi media berbuat baik kepada sesama manusia. Inilah menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai yang dilandasi atas keimanan kepada Allah.
2. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pekerja lepas.
Pekerja lepas (Self-Employed) adalah orang yang melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima bayaran darinya. Pekerja lepas juga merupakan orang-orang yang ingin menjemput rezeki dari Allah Swt dengan memposisikan dirinya menjadi “bos mereka sendiri.” Pekerja model ini dapat disebut juga sebagai seorang profesional.
Para pekerja lepas ini benar-benar mengandalkan keahliannya dalam menjemput setiap rezeki yang telah Allah tebarkan di muka bumi. Kemampuan menjemput rezeki yang diperlihatkan oleh pekerja lepas ini ditentukan oleh “kelebihannya” yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Untuk itu, Islam pada hal-hal tertentu menyarankan dalam mengurus sesuatu itu harus oleh ahlinya. Bila tidak, maka siap-siap bencana menghadangnya (baca: terjadi kehancuran).
Jadi, orang-orang yang menjadi pekerja lepas ini dapat menjemput rezeki dengan bekerja untuk dirinya sendiri. Walau demikian, ada kalanya ia juga masih tetap menyandang sebagai pegawai di tempat tertentu. Misalnya, seorang dokter bisa memilih mendapat penghasilan sebagai pegawai, dan bergabung dengan staf sebuah rumah sakit besar. Namun di pihak lain, ia juga bisa memutuskan memperoleh penghasilan sebagai seorang pekerja lepas dengan membuka praktek pribadi.
Contoh lain, adalah seorang dosen yang bekerja di sebuah perguruan tinggi. Di luar aktivitas mengajarnya, ia menjadi pekerja lepas dengan membuat artikel yang dikirimkannya ke beberapa media cetak. Dari aktivitas seperti ini, ia jelas akan menjemput rezeki dari selain sebagai pegawai, juga dari pekerja lepasnya sebagai penulis.
Untuk dapat menjemput rezeki dalam arti sebagai pekerja lepas, tentu kita dituntut memiliki profesionalisme atas jenis pekerjaan yang digelutinya. Yang jelas, secara sederhana ciri-ciri seorang yang profesional adalah memiliki kemampuan yang terus-menerus ditingkatkan; kemampuan tersebut dijalankan sebagai profesi; dan ada penghasilan yang didapat dari profesi yang dijalaninya tersebut.
Berkait dengan itu, Islam memberi kebebasan penuh untuk memilih jenis pekerjaan, pindah ke jenis pekerjaan lain, dan atau melakukan antara keduanya. Pendeknya, orang boleh bekerja sesuai dengan keinginannya dan dapat dengan bebas berpindah pekerjaan. Yang jelas, kita tidak boleh takabur lagi bersikap sombong.
Kesempurnaan mobilitas pekerjaan, dijelaskan dalam Alquran, yaitu: “Mereka berkata, bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat hijrah di bumi itu? Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. 4: 97, 100).
Pada bagian lain disebutkan pula bahwa Allah menjadikan bumi untuk manusia sebagai hamparan, supaya dapat menjalani jalan-jalan yang lurus (QS. 71: 19-20). Selain itu, dalam QS. 67: 15 dinyatakan: “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian rezekinya.”
3. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha.
Pemilik usaha (busines owner) dapat dikatakan lawan dari pegawai. Namun demikian, antara keduanya memiliki ketergantungan. Sebab, pegawai adalah bukan satu-satunya unsur yang menimbulkan keuntungan. Bukankah kerja (pegawai) itu tidak akan menghasilkan sesuatu jika tidak didukung oleh pemilik usaha. Dan sebaliknya, pemilik usaha tanpa dukungan kerja, juga tidak akan menguntungkan.
Untuk dapat menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha yang berhasil, tentu diperlukan kepemilikan atau kemampuan dalam pengendalian sistem dan kemampuan memimpin orang.
Bagi umat Islam sendiri, menjemput rezeki dengan jalan menjadi pemilik usaha adalah sesuatu yang penting dan menentukan dalam membangun perekonomian umat. Dari sini, tentu bisa mengarah kepada rusaknya moral umat, jika sebagian dari umat Islam tidak mampu membangun etika perekonomian sesuai aturan Allah Swt.
Kita mengetahui bersama, kalau negara-negara kapitalis dalam mengatur sistem perindustrian modern telah menempatkan tenaga kerja dan pemilik usaha ke dalam kelompok yang saling bertentangan. Tepatnya, dalam menempatkan kepentingannya selalu terjadi konflik di antara keduanya yang menyeret pada pemborosan modal dan tenaga kerja yang tidak sedikit.
Situasi seperti itu, tentu tidak akan terjadi bila kita berpedoman pada aturan Islam. Karena Islam menghubungkan tenaga kerja dan pemilik usaha dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan dengan suatu cara yang tidak mempertentangkan kepentingan mereka. Dampaknya, maka akan mendorong mereka untuk saling memiliki rasa percaya, kemauan baik, menghormati hak-hak orang lain, kebersamaan, keadilan, dan kasih sayang.
Pada konteks ini, kiranya patut dicatat oleh para pemilik usaha apa yang diungkap dalam sabda Nabi SAW, yaitu: “Bayarlah upah buruh itu sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Pada bagian lain seperti diberitakan Abu Khurairah kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda; Allah Ta’ala berfirman: “Ada tiga orang yang Aku menjadi musuh mereka di hari kiamat yaitu: orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian ia berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka dan ia makan harganya, dan seorang yang memperkerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi ia tidak bayar gajinya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, dalam menjemput rezeki sebagai pemilik usaha harus memperhatikan etika yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Diantara etika usaha yang dilakukan Rasulullah, adalah berupa etika perdagangan yang adil; tidak melakukan perdagangan yang terlarang; sopan santun dan baik hati dalam melakukan transaksi perdagangan; kejujuran; dan persetujuan.
Sementara itu, Prof Dr Quraish Shihab, dalam buku Wawasan al-Quran memaparkan bagaimana nilai-nilai Islam dalam aktivitas ekonomi. Menurutnya, aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh Ulama dengan mu’amalah (interaksi). Dalam Alquran disebutkan: “Wahai orang-orang beriman, jangan kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil ….” (QS. Al-Baqarah: 188). Kata batil diartikan sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama.
Secara umum, nilai-nilai Islam tersebut terangkum dalam empat prinsip pokok terhadap wirausaha atau aktivitas ekonomi. Yaitu prinsip tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggungjawab.
Di sini, prinsip tauhid menjadi hal utama, karena prinsip ini akan mengantar manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan. Inilah perilaku menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha yang sesuai aturan Islam.
4. Menjemput rezeki dalam arti menjadi penanam modal.
Penanam modal (investor) adalah membuat uang dengan uang. Mereka tak perlu bekerja, karena uang mereka bekerja untuknya. Itulah sisi lain dari modal. Modal adalah kekayaan yang membantu menghasilkan kekayaan selanjutnya. Penanam modal berarti kekayaan yang diperoleh dengan hasil kerjanya sendiri lalu dipergunakan untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak lagi.
Dengan memandang betapa pentingnya modal dalam kehidupan manusia, maka setiap muslim hendaknya dapat menjemput rezeki dalam arti menjadi investor yang memperjuangkan kemajuan umat. Dalam hal ini, Alquran memberi petunjuk dalam surat Ali Imran: 14, yaitu: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia.”
Di sini, pemaknaan modal dan kekayaan yaitu dengan ungkapan, “persediaan untuk digunakan oleh manusia,” agar manusia dapat menghasilkan kekayaan terus menerus untuk memenuhi keinginanya.
Rasulullah sendiri menekankan pentingnya modal dengan ungkapan, “Tidak akan ada kecemburuan kecuali dalam dua hal: orang yang diberi Allah kekayaan (modal) dan kekuasaan untuk membelanjakannya dalam menegakkan kebenaran (untuk kepentingannya dan kepentingan orang lain), dan orang yang telah dijamin Allah dengan ilmu pengetahuan yang banyak untuk menilai dan mengajarkannya pada yang lain.” (HR. Bukhari).
Presfektif untuk memiliki ilmu di sini, sama dengan hasrat untuk memiliki harta. Sifat ini adalah alami pada setiap manusia. Jadi, mncari ilmu sama pentingnya dengan mencari harta. Rasulullah yang menyadari akan pentingnya modal, menasehatkan umatnya untuk berlomba satu sama lain dalam mencari ilmu dan harta.
Aktualisasi akan pentingnya investor dalam kehidupan umat Islam, tidak lain adalah untuk memproteksi musuh-musuh Islam (Yahudi dan Nasrani) yang akan selalu memusuhi umat Islam, sehingga kamu (mau) mengikuti ‘milah’ (agama dan kepentingan) mereka (baca: QS.2: 120).
Pada tataran investor ini para Zionis menancabkan kuku-kuku racunnya kepada musuh-musuhnya. Apa buktinya?
Sejarah telah mencatat betapa mudahnya kaum investor memperlakukan perekonomian suatu negara. Kita ambil contoh, ulah George Soros, spekulan Yahudi asal Hongaria yang berkewarganegaraan Amerika Serikat ini, yang telah mengguncang perekonomian sejumlah negara ASEAN pada akhir tahun 1997 sampai sekarang. Dan membuat sejumlah negara Asia Tenggara mengalami krisis, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ulah Soros ---yang Yahudi ini---, dengan mengacaukan perekonomian sejumlah negara tersebut, memunculkan dugaan bahwa langkah itu merupakan bagian dari Skenario Zionis untuk sekaligus mengacaukan perekonomian negara-negara yang dipandang sebagai musuh negara Yahudi Israel.
Dugaan tersebut, cukup beralasan bila kita analisa antara yang dilakukan Soros dengan apa yang telah diprogram kaum Zionis (baca: bidang ekonomi dan moneter). Dr. Majid Kailany, dalam buku Bahaya Zionisme terhadap Dunia Islam (1991), kaum Zionis berpendapat, dengan memegang kendali perekonomian dunia, akan mudah melaksanakan cita-cita Zionisme Internasional dengan gemilang.
Kejelasan adanya keterkaitan antara ulah Soros dengan Skenario Zionis adalah terlihat pada Protokolat Zionis ke-20 disebutkan: “Bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi kita yang gemilang. Kredit yang menjerat leher negara non-Yahudi, makin lama makin terasa sakitnya. Bantuan luar negeri yang telah kita lakukan, boleh dikata laksana seonggok benalu yang menyerap habis segenap potensi perekonomiannya. Maka sebentar lagi akan kita lihat sebuah pemandangan yang menyejukkan mata Zionisme Internasional, yakni negara yang bersangkutan bersujud di kaki Zionis, atau mereka akan mati perlahan-lahan kehabisan darah.”
Betapa sadis dan tidak beradabnya, jika para investor itu tidak berdasarkan pada ilmu Allah. Lantas, akankah umat Islam berdiam diri dan masih mengedepankan terus jurus “pertengkaran” dengan sesama saudaranya sendiri? Sekaranglah, saat yang tepat kita menjemput rezeki dalam arti menjadi investor yang Islami. Yakni investor yang membela kebenaran Islam dan umatnya. Kiranya, sosok Usamah Bin Laden, patut dicontoh oleh umat Islam di seluruh dunia. Tepatnya, ke depan umat ini membutuhkan sosok “Usamah-Usamah” lain yang komitmen pada kebenaran agama Allah.
Dalam konteks seperti itulah, sebenarnya pertumbuhan modal dianggap penting dan setiap muslim diharapkan untuk menginvestasikan uangnya ke dalam bisnis Islami. Sebuah hadits menyebutkan: “Tuhan tidak memberkahi harga tanah dan rumah yang tidak diinvestasikan lagi pada sebuah rumah atau tanah.” (Ibnu Majah dan kitab al-Karaj le-Yahya).
Hadits lainnya, mengungkapkan: “Barangsiapa yang menjual sebuah rumah atau tanah yang mendatangkan keuntungan, lalu tidak menginvestasikan kembali uang itu ke dalam sesuatu yang sejenis itu, ia tidak akan diberkati (dan kekayaannya tidak akan berkembang).” Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah sangat tekun mempertahankan tingkat pertumbuhan modal di masyarakat. Perilaku seperti ini merupakan wujud dari menjemput rezeki dalam arti menjadi penanam modal.
Akhirnya, setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjemput rezeki, baik pada tatanan sebagai pegawai (Anda punya pekerjaan); pekerja lepas (Anda memiliki pekerjaan); pemilik usaha (Anda memiliki sistem dan orang bekerja untuk Anda); dan atau sebagai penanam modal (uang bekerja untuk Anda).
Adapun wujud dari menjemput rezeki itu, adalah seperti sabda Nabi SAW, yaitu: “Bekerjalah kamu untuk kehidupan dunia seolah-olah akan hidup selama-lamanya, tetapi kerjakanlah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah akan mati besok hari.” (HR. Ibnu Asaakir).
Dan kita berdoa setiap saat, “Ya Allah, apabila rezekiku jauh dekatkanlah. Apabila dekat permudahlah bagiku mencapainya. Dan jika mudah memperolehnya maka segerakanlah. Apabila rezekiku sedikit perbanyaklah, dan apabila banyak kembangkanlah.” Amin….***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Atas dasar itulah, kita hendaknya mampu menjemput rezeki bukannya mencari rezeki. Mencari rezeki berarti kita berusaha supaya mendapat nafkah (rezeki). Hal ini tidak tepat, karena bukankah Allah telah menentukan dan menyebarkan rezekinya terhadap setiap makhluk ciptaan-Nya? Di sinilah, perlunya kita menjemput rezeki. Yakni pergi menyambut (menyongsong) kedatangan rezeki atau memungut dengan “ujung-ujung jari” terhadap setiap rezeki yang telah Allah sebarkan di dunia ini.
Berikut ini, ada beberapa lahan usaha yang bisa dijadikan aset manusia dalam menjemput rezeki yang telah ditebarkan-Nya, tentu dalam batas koridor misteri rezeki dan fenomena ikhtiar manusia itu sendiri.
1. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai.
Pegawai (Employee) adalah orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan dsb.). Bekerja berarti mengerahkan tenaga fisik atau fikiran yang dilakukan untuk memperoleh imbalan berupa uang. Ini mencakup seluruh bentuk pekerjaan, baik yang dilakukan dengan tangan atau dengan kepandaian (Afzalurrahman; 1982).
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menjadi pegawai itu dapat menjemput rezeki dengan mempunyai pekerjaan dan bekerja untuk orang lain atau sebuah perusahaan.
Bagi mereka yang tergolong pegawai ini, memiliki karakteristik yang khas. Yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kata “aman” merupakan frasa yang sering digunakan oleh mereka sebagai reaksi terhadap emosi takut akan ketidakpastian.
Ketidakpastian tak membuat kelompok ini merasa bahagia; kepastianlah yang membuat mereka bahagia. Para pegawai ingin rasa takut mereka dipuaskan dengan beberapa derajat kepastian, itulah sebabnya kebanyakan mereka mencari keamanan dan perjanjian yang mengikat dalam hal pekerjaan.
Pada konteks sebagai pekerja, yang penting diperhatikan sesuai dengan syariat Islam adalah tanggung jawabnya. Yakni sebagai pegawai adalah wajib melaksanakan pekerjaan dengan sebaik mungkin untuk menjemput rezeki dari Allah. Hal ini sejalan dengan ungkapan Alquran surat Al-Maidah ayat 1, “…. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ….”
Menjadi pegawai merupakan salah satu faktor penting dalam produksi. Misalnya, kekayaan alam yang dimiliki Indonesia tidak dapat dimanfaatkan, kecuali bila digali dan diproduksi menjadi sesuatu yang lebih berguna dan produktif oleh tenaga kerja. Alquran menyatakan, “Seseorang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali apa yang telah diusahakannya.” (QS. 53: 39).
Rasulullah sendiri dalam berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya tenaga kerja dan selalu menghargai karya para pekerja. Lebih-lebih bekerjanya itu dilandasi dengan jujur, demi mendapatkan pahala dari Allah.
Pendeknya, melalui bekerja telah memperlihatkan pada dunia bahwa kita hidup, kita ada, dan hidup kita menjadi lebih bermakna. Rasulullah telah mengingatkan bahwa seseorang laki-laki yang keluar dari rumahnya sambil membawa seutas tali, kemudian ia pulang dengan membawa seikat kayu bakar untuk dijual dan dibelikan makanan untuk anak dan istrinya, jauh lebih mulia bila dibandingkan dengan orang yang meminta-minta. Pasalnya, sekali seseorang meminta-minta kepada sesama manusia, berarti ia telah mengambil sekerat daging dari mukanya. Konsekuensinya, semakin sering ia meminta, maka semakin banyak daging yang ia ambil dari mukanya. Sehingga, nanti pada hari kiamat ada sekelompok orang yang datang tanpa sekerat pun daging di mukanya karena ketika hidup di dunia ia telah banyak meminta.
Rasulullah selalu menekankan untuk bekerja dan tidak pernah menyukai orang yang selalu bergantung pada sedekah. Lagian, bukankah kehidupan yang mudah dan menyenangkan dijanjikan pada mereka yang bekerja dan tidak membuang-buang waktu ---bermalas-malasan---(QS. 101: 6-7). Dalam bahasa Imam Sirkhasi dikatakan, “Mencari nafkah untuk hidup adalah kewajiban setiap Muslim.”
Lebih dari itu, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa perintah untuk bekerja keras itu, agar kita berinfak, dan dengan demikian kita akan menerima pahala amal saleh. Tepatnya, bekerja menjadi media berbuat baik kepada sesama manusia. Inilah menjemput rezeki dalam arti menjadi pegawai yang dilandasi atas keimanan kepada Allah.
2. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pekerja lepas.
Pekerja lepas (Self-Employed) adalah orang yang melakukan pekerjaan tertentu dengan menerima bayaran darinya. Pekerja lepas juga merupakan orang-orang yang ingin menjemput rezeki dari Allah Swt dengan memposisikan dirinya menjadi “bos mereka sendiri.” Pekerja model ini dapat disebut juga sebagai seorang profesional.
Para pekerja lepas ini benar-benar mengandalkan keahliannya dalam menjemput setiap rezeki yang telah Allah tebarkan di muka bumi. Kemampuan menjemput rezeki yang diperlihatkan oleh pekerja lepas ini ditentukan oleh “kelebihannya” yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Untuk itu, Islam pada hal-hal tertentu menyarankan dalam mengurus sesuatu itu harus oleh ahlinya. Bila tidak, maka siap-siap bencana menghadangnya (baca: terjadi kehancuran).
Jadi, orang-orang yang menjadi pekerja lepas ini dapat menjemput rezeki dengan bekerja untuk dirinya sendiri. Walau demikian, ada kalanya ia juga masih tetap menyandang sebagai pegawai di tempat tertentu. Misalnya, seorang dokter bisa memilih mendapat penghasilan sebagai pegawai, dan bergabung dengan staf sebuah rumah sakit besar. Namun di pihak lain, ia juga bisa memutuskan memperoleh penghasilan sebagai seorang pekerja lepas dengan membuka praktek pribadi.
Contoh lain, adalah seorang dosen yang bekerja di sebuah perguruan tinggi. Di luar aktivitas mengajarnya, ia menjadi pekerja lepas dengan membuat artikel yang dikirimkannya ke beberapa media cetak. Dari aktivitas seperti ini, ia jelas akan menjemput rezeki dari selain sebagai pegawai, juga dari pekerja lepasnya sebagai penulis.
Untuk dapat menjemput rezeki dalam arti sebagai pekerja lepas, tentu kita dituntut memiliki profesionalisme atas jenis pekerjaan yang digelutinya. Yang jelas, secara sederhana ciri-ciri seorang yang profesional adalah memiliki kemampuan yang terus-menerus ditingkatkan; kemampuan tersebut dijalankan sebagai profesi; dan ada penghasilan yang didapat dari profesi yang dijalaninya tersebut.
Berkait dengan itu, Islam memberi kebebasan penuh untuk memilih jenis pekerjaan, pindah ke jenis pekerjaan lain, dan atau melakukan antara keduanya. Pendeknya, orang boleh bekerja sesuai dengan keinginannya dan dapat dengan bebas berpindah pekerjaan. Yang jelas, kita tidak boleh takabur lagi bersikap sombong.
Kesempurnaan mobilitas pekerjaan, dijelaskan dalam Alquran, yaitu: “Mereka berkata, bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat hijrah di bumi itu? Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.” (QS. 4: 97, 100).
Pada bagian lain disebutkan pula bahwa Allah menjadikan bumi untuk manusia sebagai hamparan, supaya dapat menjalani jalan-jalan yang lurus (QS. 71: 19-20). Selain itu, dalam QS. 67: 15 dinyatakan: “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian rezekinya.”
3. Menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha.
Pemilik usaha (busines owner) dapat dikatakan lawan dari pegawai. Namun demikian, antara keduanya memiliki ketergantungan. Sebab, pegawai adalah bukan satu-satunya unsur yang menimbulkan keuntungan. Bukankah kerja (pegawai) itu tidak akan menghasilkan sesuatu jika tidak didukung oleh pemilik usaha. Dan sebaliknya, pemilik usaha tanpa dukungan kerja, juga tidak akan menguntungkan.
Untuk dapat menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha yang berhasil, tentu diperlukan kepemilikan atau kemampuan dalam pengendalian sistem dan kemampuan memimpin orang.
Bagi umat Islam sendiri, menjemput rezeki dengan jalan menjadi pemilik usaha adalah sesuatu yang penting dan menentukan dalam membangun perekonomian umat. Dari sini, tentu bisa mengarah kepada rusaknya moral umat, jika sebagian dari umat Islam tidak mampu membangun etika perekonomian sesuai aturan Allah Swt.
Kita mengetahui bersama, kalau negara-negara kapitalis dalam mengatur sistem perindustrian modern telah menempatkan tenaga kerja dan pemilik usaha ke dalam kelompok yang saling bertentangan. Tepatnya, dalam menempatkan kepentingannya selalu terjadi konflik di antara keduanya yang menyeret pada pemborosan modal dan tenaga kerja yang tidak sedikit.
Situasi seperti itu, tentu tidak akan terjadi bila kita berpedoman pada aturan Islam. Karena Islam menghubungkan tenaga kerja dan pemilik usaha dalam ikatan persaudaraan dan kekeluargaan dengan suatu cara yang tidak mempertentangkan kepentingan mereka. Dampaknya, maka akan mendorong mereka untuk saling memiliki rasa percaya, kemauan baik, menghormati hak-hak orang lain, kebersamaan, keadilan, dan kasih sayang.
Pada konteks ini, kiranya patut dicatat oleh para pemilik usaha apa yang diungkap dalam sabda Nabi SAW, yaitu: “Bayarlah upah buruh itu sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah). Pada bagian lain seperti diberitakan Abu Khurairah kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah bersabda; Allah Ta’ala berfirman: “Ada tiga orang yang Aku menjadi musuh mereka di hari kiamat yaitu: orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian ia berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka dan ia makan harganya, dan seorang yang memperkerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi ia tidak bayar gajinya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian, dalam menjemput rezeki sebagai pemilik usaha harus memperhatikan etika yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Diantara etika usaha yang dilakukan Rasulullah, adalah berupa etika perdagangan yang adil; tidak melakukan perdagangan yang terlarang; sopan santun dan baik hati dalam melakukan transaksi perdagangan; kejujuran; dan persetujuan.
Sementara itu, Prof Dr Quraish Shihab, dalam buku Wawasan al-Quran memaparkan bagaimana nilai-nilai Islam dalam aktivitas ekonomi. Menurutnya, aktivitas ekonomi terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh Ulama dengan mu’amalah (interaksi). Dalam Alquran disebutkan: “Wahai orang-orang beriman, jangan kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil ….” (QS. Al-Baqarah: 188). Kata batil diartikan sebagai segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan dan nilai agama.
Secara umum, nilai-nilai Islam tersebut terangkum dalam empat prinsip pokok terhadap wirausaha atau aktivitas ekonomi. Yaitu prinsip tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggungjawab.
Di sini, prinsip tauhid menjadi hal utama, karena prinsip ini akan mengantar manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan. Inilah perilaku menjemput rezeki dalam arti menjadi pemilik usaha yang sesuai aturan Islam.
4. Menjemput rezeki dalam arti menjadi penanam modal.
Penanam modal (investor) adalah membuat uang dengan uang. Mereka tak perlu bekerja, karena uang mereka bekerja untuknya. Itulah sisi lain dari modal. Modal adalah kekayaan yang membantu menghasilkan kekayaan selanjutnya. Penanam modal berarti kekayaan yang diperoleh dengan hasil kerjanya sendiri lalu dipergunakan untuk menghasilkan kekayaan yang lebih banyak lagi.
Dengan memandang betapa pentingnya modal dalam kehidupan manusia, maka setiap muslim hendaknya dapat menjemput rezeki dalam arti menjadi investor yang memperjuangkan kemajuan umat. Dalam hal ini, Alquran memberi petunjuk dalam surat Ali Imran: 14, yaitu: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia.”
Di sini, pemaknaan modal dan kekayaan yaitu dengan ungkapan, “persediaan untuk digunakan oleh manusia,” agar manusia dapat menghasilkan kekayaan terus menerus untuk memenuhi keinginanya.
Rasulullah sendiri menekankan pentingnya modal dengan ungkapan, “Tidak akan ada kecemburuan kecuali dalam dua hal: orang yang diberi Allah kekayaan (modal) dan kekuasaan untuk membelanjakannya dalam menegakkan kebenaran (untuk kepentingannya dan kepentingan orang lain), dan orang yang telah dijamin Allah dengan ilmu pengetahuan yang banyak untuk menilai dan mengajarkannya pada yang lain.” (HR. Bukhari).
Presfektif untuk memiliki ilmu di sini, sama dengan hasrat untuk memiliki harta. Sifat ini adalah alami pada setiap manusia. Jadi, mncari ilmu sama pentingnya dengan mencari harta. Rasulullah yang menyadari akan pentingnya modal, menasehatkan umatnya untuk berlomba satu sama lain dalam mencari ilmu dan harta.
Aktualisasi akan pentingnya investor dalam kehidupan umat Islam, tidak lain adalah untuk memproteksi musuh-musuh Islam (Yahudi dan Nasrani) yang akan selalu memusuhi umat Islam, sehingga kamu (mau) mengikuti ‘milah’ (agama dan kepentingan) mereka (baca: QS.2: 120).
Pada tataran investor ini para Zionis menancabkan kuku-kuku racunnya kepada musuh-musuhnya. Apa buktinya?
Sejarah telah mencatat betapa mudahnya kaum investor memperlakukan perekonomian suatu negara. Kita ambil contoh, ulah George Soros, spekulan Yahudi asal Hongaria yang berkewarganegaraan Amerika Serikat ini, yang telah mengguncang perekonomian sejumlah negara ASEAN pada akhir tahun 1997 sampai sekarang. Dan membuat sejumlah negara Asia Tenggara mengalami krisis, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Ulah Soros ---yang Yahudi ini---, dengan mengacaukan perekonomian sejumlah negara tersebut, memunculkan dugaan bahwa langkah itu merupakan bagian dari Skenario Zionis untuk sekaligus mengacaukan perekonomian negara-negara yang dipandang sebagai musuh negara Yahudi Israel.
Dugaan tersebut, cukup beralasan bila kita analisa antara yang dilakukan Soros dengan apa yang telah diprogram kaum Zionis (baca: bidang ekonomi dan moneter). Dr. Majid Kailany, dalam buku Bahaya Zionisme terhadap Dunia Islam (1991), kaum Zionis berpendapat, dengan memegang kendali perekonomian dunia, akan mudah melaksanakan cita-cita Zionisme Internasional dengan gemilang.
Kejelasan adanya keterkaitan antara ulah Soros dengan Skenario Zionis adalah terlihat pada Protokolat Zionis ke-20 disebutkan: “Bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi kita yang gemilang. Kredit yang menjerat leher negara non-Yahudi, makin lama makin terasa sakitnya. Bantuan luar negeri yang telah kita lakukan, boleh dikata laksana seonggok benalu yang menyerap habis segenap potensi perekonomiannya. Maka sebentar lagi akan kita lihat sebuah pemandangan yang menyejukkan mata Zionisme Internasional, yakni negara yang bersangkutan bersujud di kaki Zionis, atau mereka akan mati perlahan-lahan kehabisan darah.”
Betapa sadis dan tidak beradabnya, jika para investor itu tidak berdasarkan pada ilmu Allah. Lantas, akankah umat Islam berdiam diri dan masih mengedepankan terus jurus “pertengkaran” dengan sesama saudaranya sendiri? Sekaranglah, saat yang tepat kita menjemput rezeki dalam arti menjadi investor yang Islami. Yakni investor yang membela kebenaran Islam dan umatnya. Kiranya, sosok Usamah Bin Laden, patut dicontoh oleh umat Islam di seluruh dunia. Tepatnya, ke depan umat ini membutuhkan sosok “Usamah-Usamah” lain yang komitmen pada kebenaran agama Allah.
Dalam konteks seperti itulah, sebenarnya pertumbuhan modal dianggap penting dan setiap muslim diharapkan untuk menginvestasikan uangnya ke dalam bisnis Islami. Sebuah hadits menyebutkan: “Tuhan tidak memberkahi harga tanah dan rumah yang tidak diinvestasikan lagi pada sebuah rumah atau tanah.” (Ibnu Majah dan kitab al-Karaj le-Yahya).
Hadits lainnya, mengungkapkan: “Barangsiapa yang menjual sebuah rumah atau tanah yang mendatangkan keuntungan, lalu tidak menginvestasikan kembali uang itu ke dalam sesuatu yang sejenis itu, ia tidak akan diberkati (dan kekayaannya tidak akan berkembang).” Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa Rasulullah sangat tekun mempertahankan tingkat pertumbuhan modal di masyarakat. Perilaku seperti ini merupakan wujud dari menjemput rezeki dalam arti menjadi penanam modal.
Akhirnya, setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjemput rezeki, baik pada tatanan sebagai pegawai (Anda punya pekerjaan); pekerja lepas (Anda memiliki pekerjaan); pemilik usaha (Anda memiliki sistem dan orang bekerja untuk Anda); dan atau sebagai penanam modal (uang bekerja untuk Anda).
Adapun wujud dari menjemput rezeki itu, adalah seperti sabda Nabi SAW, yaitu: “Bekerjalah kamu untuk kehidupan dunia seolah-olah akan hidup selama-lamanya, tetapi kerjakanlah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah akan mati besok hari.” (HR. Ibnu Asaakir).
Dan kita berdoa setiap saat, “Ya Allah, apabila rezekiku jauh dekatkanlah. Apabila dekat permudahlah bagiku mencapainya. Dan jika mudah memperolehnya maka segerakanlah. Apabila rezekiku sedikit perbanyaklah, dan apabila banyak kembangkanlah.” Amin….***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.