- / / : 081284826829

Menjalin Persahabatan Hakiki

Oleh: ARDA DINATA
Email:
arda.dinata@gmail.com


Persahabatan hakiki merupakan kata-kata indah untuk didengarkan dan tentunya setiap orang mendambakan realitas hal tersebut. Persahabatan itu sendiri berarti perhubungan selaku sahabat. Sahabat adalah teman disegala suasana. Asik diajak berdiskusi, juga penuh kesabaran mendengarkan keluh-kesah. Apalagi saat senang memang enak dijalani bersama. Begitu pun saat susah, terasa ringan dengan berbagi cerita terhadap sahabat.



Menjalin ikatan persahabatan merupakan aktivitas yang fithriyyah bagi kita, karena manusia memang ditakdirkan Allah menghuni bumi ini sebagai makhluk sosial. Dari aktivitas tersebut, kita bisa belajar mengenai kehidupan lebih banyak lagi. Lewatnya, kita bisa bercermin. Melalui cermin persahabatan ini, kita bisa melihat perbedaan-perbedaan sifat/karakter manusia dan pola kehidupannya. Dari sini, diharapkan kedewasaan dan kesabaran kita menjadi tertanam secara kokoh.


Untuk mencapai makom persahabatan hakiki, Islam jauh-jauh hari telah memberi petunjuk untuk mencapai persahabatan hakiki itu. Yakni persahabatan yang dibalut dengan sibghah Allah. Tepatnya, bersahabat dalam pancaran Nur Islam ini, ternyata tidak hanya berupa jalinan dua orang insan yang seiman dan seaqidah (baca: ibarat satu tubuh). Tetapi, juga otomatis dan tidak bisa tidak, dalam bahasa Aa Gyim adalah mesti ada “pihak ketiga” yang ikut mengikatkan diri serta kian memperteguh ikatan dianatara keduanya, yaitu Allah Dzat Yang Maha memiliki rasa kasih dan sayang. Singkatnya, persahabatan dalam Islam memang akan selalu melibatkan keberadaan Allah di tengah-tengah kita.

Berikut ini, ada beberapa ruang lingkup jalinan persahabatan yang perlu dirajut dan dibina oleh setiap manusia untuk mencapai predikat persahabatan kakiki.

1. Menjalin Persahabatan dengan Allah SWT.

Persahabatan pertama dan utama yang mesti dijalin oleh setiap manusia adalah persahabatan dengan Allah SWT. Sang pemilik dan pengatur persahabatan setiap makhluk-Nya. Dampaknya, bila Allah telah nyata-nyata melibatkan diri didalamnya, maka konsekuensinya tidak hanya persahabatan itu menjadi indah dan nikmat melebihi saudara sedarah. Tetapi, lebih dari itu, Allah akan selalu siap menurunkan pertolongan-Nya tatkala kesulitan menghadang atau setiap waktu kita memintanya.

Jaminan hal tersebut, terungkap dalam QS. Al Baqarah: 186, yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Dari sini, terungkap jelas bahwa untuk menjalin persahabatan manusia dengan Allah itu, maka syaratnya tidak lain adalah beriman dan bertaqwa kepada Allah. Lagian, saling mencintai (baca: persahabatan) karena Allah termasuk ibadah yang paling utama, dan ia adalah buah dari akhlak yang baik. Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang terdekat dariku di antara kamu duduknya adalah yang terbaik akhlaknya di antara kamu dan merendahkan diri, yang mencintai dan dicintai.”

Untuk itu, pantas saja Allah mengumpamakan terhadap persahabtan yang kokoh kuat dalam sibghah Allah, dalam cahaya iman dan Islam, yaitu sebagai “Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” Sungguh indah perumpamaan Allah ini.

Jadi, persahabatan dengan Allah ini adalah sesuatu yang harus kita pilih terlebih dahulu, sebelum menjalin persahabatan-persahabatan lainnya. Dan ini, tentu sebagai bukti penghambaan kita kepada-Nya.

2. Menjalin Persahabatan dengan Pribadinya Sendiri.

Berawal dari mantapnya jalinan persahabatan dengan Allah, maka langkah selanjutnya adalah menjalin persahabatan dengan pribadinya sendiri, sebelum bentuk persahabatan dengan lainnya. Bagaimana caranya?

Bersahabat dengan pribadinya sendiri berarti kita memenuhi dan memahami setiap fitrah diri sebagai manusia yang sesuai dengan ketentuan-Nya. Yakni sebagai khalifah di muka bumi ini. Lagian, dalam pandangan Islam, setiap pribadi (manusia), lebih dahulu harus memperhatikan serta meneliti atas kejadian diri pribadinya sendiri. Misalnya, dari apa dia dijadikan dan apa tujuan serta ke mana ia akan kembali (baca: QS. 86: 5-7).

Berawal dari pengenalan (persahabatan) dengan diri sendiri ini, tentu sudah seharusnya tiap pribadi itu mampu memformulasikan persahabatan lainnya yang sesuai ridha-Nya. Sehingga melalui kesuksesan membangun persahabatan ini, akan mengantarkan kepada kesusksesan persahabatan lainnya di dunia.

Dalam hal ini, Asy-Syafi’i ra. memberi tuntunan bahwa tidak seorang muslim pun yang taat kepada Allah tanpa mendurhakai-Nya. Maka barangsiapa yang ketaatannya lebih menonjol daripada maksiatnya, ia pun adil. Artinya, bila orang ini adil dalam hak Allah SWT, maka dalam hakmu ia lebih utama baginya. Maka jadilah engkau termasuk orang yang menampakkan kebagusan dan menutupi keburukan, karena Allah SWT disifatkan demikian dalam doa. “Ya Tuhan yang menampakkan kebagusan dan menutupi keburukan.”

Pendeknya yang diridhai di sisi Allah adalah orang yang berakhlak dengan akhlak-Nya dan Dialah yang menutupi kejelekan dan mengampuni dosa-dosa manusia itu. Dalam konteks ini, iman seseorang tidak sempurna hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya.

Hal itu berarti, pada tataran jalinan persahabatan dengan siapa dan dalam bentuk apa pun, tentu harus terlebih dahulu membangun terhadap kencintaan pada dirinya sendiri sesuai harapan-Nya. Baru kemudian kemulyaan akhlak dan iman diri manusia itu, dijalinkan kepada persahabatan terhadap pihak lainnya.

3. Menjalin Persahabatan dengan Sesama Manusia.

Persahabatan dengan sesama manusia ini merupakan aktualisasi dan penjabaran dari buah bentuk persahabatan sebelumnya. Aktivitas persahabatan yang ketiga ini, akan menentukan catatan-catatan amaliah di dunia. Apakah baik-buruk, bahagia-sedih, sukses-gagal, dan sejenisnya.

Untuk itu, tidak setiap orang patut dijadikan sahabat kita. Nabi Saw. bersabda, “Manusia itu mengikuti kebiasaan temannya, maka hendaklah seseorang dari kamu melihat siapa yang akan dijadikan temannya.”

Dalam hal ini, Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa haruslah dipertimbangkan sejumlah perkara. Yakni, ia harus seorang yang berakal. Berakhlak baik, tidak berambisi atas keduniaan. Adapun akal, ia adalah modal.

Oleh karena itu, kata Al Ghazali bahwa memutus hubungan dengan orang dungu adalah pendekatan dengan Allah. Begitu pula orang fasik tidak ada faedahnya bila berteman dengannya, karena siapa yang takut Allah, ia pun tidak terus menerus melakukan dosa besar, dan siapa yang tidak takut kepada Allah, maka ia pun suka mengganggu orang lain.
Dalam hal ini, Allah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya.” (QS. Al-Kahfi: 28).

Walau demikian, sesungguhnya setiap mukmin terdapat sifat, cita-cita dan aqidah. Maka seharusnya secara otomatis persahabatan akan tercipta sebagai akibat dari suatu karakter dari keimanan mereka. Allah menyebutkan dalam suatu firma-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara ….” (QS. Al-Hujuraat:10).

Sifat yang lazim dari konsekuensi keimanan itu akan melahirkan ukhuwwah fillah (persaudaraan karena Allah). Dan ini merupakan perangai yang cocok sebagai teman bagi ketaqwaan. Dengan demikian, maka tidak ada persahabatan sejati tanpa adanya iman dan tidak adanya iman tanpa adanya persahabatan.

Pada konteks ini, Al Ustadz Husnie Adham Jarror dalam bukunya Al Ukhuwwah Wal Hubb Fillah menuliskan, jika anda mendapati suatu persaudaraan yang dibelakangnya tidak didukung oleh keimanan maka akan anda dapati bahwa persaudaraan senacam itu tidak akan membawa kemaslahatan dan manfaat yang saling timbal balik. Begitu juga jika anda dapati keimanan (iman) yang tidak didukung oleh persaudaraan maka bisa anda simpulkan bahwa betapa rendah kadar keimanan itu yang bahkan justru mengarahkan kepada keterjerumusan.

Berkait dengan persahabatan karena Allah dengan kasih sayang dan kebaikan, diriwayatkn oleh Ibnu Abbas ra. Bahwa Nabi Saw. bersabda: “Sekuat-kuat iman adalah persaudaraan karena Allah, cinta karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

Indahnya persahabatan karena Allah ini, telah dicontohkan para sahabat Rasulullah Saw. Kisah ini terjadi ketika Perang Yarmuk, yaitu antara Ikrimah, Suhail bin Amru, dan Harits bin Hisyam. Diwaktu mereka dalam keadaan kritis (karena terluka dalam peperangan) kepada mereka disampaikan minumn, akan tetapi mereka semuanya menolak karena saling ingin mendahulukan saudaranya sehingga akhirnya mereka semua syahid karenanya.

Ceritanya, ketika minum itu ditawarkan kepada salah seorang diantara mereka, ia berkata: “Berikan saja minum itu kepada si fulan …” Sampai akhirnya mereka gugur semua, sedang mereka belum sempat meminumnya. Ketika Ikrimah menerima air tersebut, dia sempat melihat Suhail, kemudian ia berkata: “Berikan saja kepada Suhail dulu.” Ketika Suhail, hendak minum, ia sempat melihat Harist memperhatikannya, kemudian ia berkata: “Berikan saja pada Harits dulu.” Namun belum pun air itu sampai kepada Harits, ia pun keburu gugur.

Sungguh indah dan luar biasa, apabila kita dapat mempraktekkan hakekat dari kisah persahabatan di atas. Bentuk persahabatan antara sesama manusia itu, misalnya bisa dengan kedua orang tua (baca: seperti dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as. saat akan mengorbankan anaknya, Nabi Ismail as.), saudara, teman, suami-istri, dan sejenisnya.

4. Menjalin Persahabatan dengan Manusia yang Telah Meninggal Dunia.

Terjalinnya persahabatan yang baik pada manusia selama hidupnya di dunia (baca: persahabatan dengan sesama manusia), maka akan mengantarkan terjalinya persahabatan yang baik pula terhadap orang yang telah meninggal, nantinya. Dalam arti lain, persahabatan/ hubungan orang yang masih hidup dan telah meninggal itu masih terus berlangsung, walaupun tidak berhubungan secara fisik.

Dari Sofyan, dari seorang yang mendengar dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: “Amalan orang yang masih hidup berpengaruh terhadap orang tuanya yang telah meninggal. Jika yang masih hidup berbuat baik maka yang telah mati akan memuji Allah dan merasa gembira. Jika yang masih hidup berbuat jelek maka orang tuanya yang telah meninggal dunia berdoa: Ya Allah, jangan Kau matikan dia sebelum Kau beri hidayah.”

Nabi Saw. bersabda: Di dalam kuburnya, orang yang telah mati merasa terganggu sebagaimana ia merasakannya ketika ia masih hidup.”

“Gangguan macam mana itu,” tanya sahabat.

“Seorang yang telah mati tak bisa melakukan dosa, tidak bisa bertengkar, bermusuhan dan tidak bisa menyakiti tetangga. Hanya saja bila kamu bertengkar dengan seseorang, pastilah orang tersebut akan mencacimu dan mencaci kedua orang tuamu. Saat itulah orang tuamu yang telah meninggal akan terganggu oleh perlakukan buruk itu. Sebaliknya, mereka yang telah mati merasa gembira ketika ia mendapatkan kebaikan yang menjadi hak mereka.”

Di bagian lain, dijelaskan juga dari Abdul Aziz bin Suhaib bahwa ia mendengar hadis dari Anas bin Malik. Lewatlah iring-iringan jenazah yang lain. Mereka menyebut-nyebut kejelekannya. Nabi bersabda, “Pastilah akan mendapatkannya.”

“Apa yang pasti, wahai Rasul?” tanya Umar.

“Yang kalian puji kebaikannya pastilah mendapat sorga. Demikian juga yang kalian sebut kejelekannya pastilah mendapat mereka.” Nabi melanjutkan sabdanya, “Kalian akan menjadi saksi Allah di bumi.”

Di bagian lain, dari Abdul Aswad Addaili: Saat itu aku duduk di dekat Umar. Nabi bersabda: “Seseorang yang mati lantas ada tiga orang bersaksi akan kebaikannya maka pastilah ia mendapat sorga.”

“Kalau cuma dua orang, wahai Rasul?” tanyaku.

“Ya, meskipun cuma dua orang.”

Kami tidak bertanya bila yang menjadi saksi hanya satu orang.

Kalau kita cermati dari beberapa keterangan di atas, terlihat jelas perlunya terjalin persahabatan yang harmonis di dunia, yang mampu menolong “sahabatnya” bila telah meninggal dunia. Inilah jalinan persahabatan dengan orang yang telah meninggal dunia. Melihat betapa pentingnya bentuk jalinan persahabatan sampai seseorang meninggal ini, maka sahabat yang masih hidup ini berpengaruh terhadap kesaksian atas amal sahabatnya yang telah meninggal itu.

Dari Amir bin Rabi’ah, Nabi bersabda, “Jika seseorang meninggal dan Allah mengetahui kejelekannya sedang orang-orang mengatakannya baik, maka Allah berfirman kepada Malaikat: Kalian jadi saksi bahwa Aku terima hamba-Ku atas hamba-Ku yang mati. Kuampuni dia dengan sepengetahuan-Ku..."

5. Menjalin Persahabatan dengan Alam Semesta.

Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., adalah agama rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil’alamin). Kata ‘rahmat’ mencakup makna yang amat luas. Dari kata itu dapat difahami bahwa keselamatan, kesejahteraan, kesehatan, dan sejenisnya adalah rahmat yang perlu kita bangun untuk mewujudkannya serta mensyukurinya.

Untuk mencapai rahmat-rahmat tersebut, kita punya kewajiban untuk menjaga dan memfungsikan secara bijak atas alam semesta. Inilah namanya menjalin persahabatan dengan alam semesta.

Kita mengetahui dari awal, alam semesta diciptakan oleh Allah bukan main-main (dengan hak-Nya), dengan tujuan antara lain sebagai tanda kekuasaan Allah bagi yang berakal, mengetahui, bertaqwa, mau mendengarkan pelajaran, dan mereka yang memikirkan.

Selain itu, juga untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, sebagai suatu rahmat dari Allah; untuk kepentingan manusia dan menyempurnakan nikmat; untuk menguji semua manusia; siapa-siapa saja yang lebih baik amalnya dalam hidup ini.

Melihat begitu pentingnya alam semesta terhadap kelangsungan kehidupan manusia, maka kita perlu menjalin persahabatan (baca: menjaga lingkungan alam) sesuai dengan batas-batas ketentuan-Nya. Lagian, walau bagaimanapun lingkungan hidup itu mampu mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Jadi, posisi keselamatan lingkungan hidup ini, tentu memiliki porsi besar dalam menentukan kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini.

Adanya beberapa bencana alam dewasa ini, seperti longsor, banjir kebakaran hutan, dll. Itu merupakan bukti manusia kurang bersahabat dengan alam semesta. Karena pada dasarnya, alam itu mampu menyeimbangkan dirinya sendiri, seandainya tidak terjadi keserakahan manusia.

Dalam hal ini, jalinan persahabatan terhadap alam ini tentu tidak terlepas pada dasar awal dari persahabatan itu sendiri. Yakni karena Allah SWT. Inilah landasan persahabatan yang sebaik-baiknya. Allah menginformasikan dalam surat Ar-Rum ayat 41, (yang artinya): “Telah timbullah kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan mereka sendiri, biar mereka dapat merasakan sendiri akibat perbuatannya, supaya kembali kepada Tuhan.”

Akhirnya, apa yang telah dipaparkan di atas, tidak lain adalah sesuatu yang mesti kita bina dengan jalinan persahabatan karena Allah. Yang untuk kondisi saat ini merupakan sesuatu yang terlihat mulai renggang ---kalau tidak mau disebut rapuh---.

Dan sesungguhnya persahabatan hakiki itu merupakan buah dari kebajikan akhlak, sedangkan tafarruq (perselisihan) tidak lain merupakan hasil dari kebejatan akhlak. Maka akhlak yang bagus akan membuahkan rasa saling cinta, saling bersatu, dan saling memberi manfaat; sedangkan akhlak yang buruk akan menghasilkan rasa saling membenci, saling mendengki, dan saling mencelakakan. Hanya Allah-lah sebaik-baiknya tempat kita kembali. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.

WWW.ARDADINATA.COM